Wednesday, June 18, 2014

My first short story adaptation from biography

The only one short story that I made from romance stories of famous poet named WS Rendra. I hope after reading this post readers will not experience strange symptoms as experienced by the author shortly after writing this post. :D
Happy reading~

Kisah 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta

Kau takkan mengerti bagaimana kesepianku
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau takkan mengerti segala lukaku
Karena cinta telah sembunyikan pisaunya

Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan

Engkau telah menjadi racun dalam darahku
Apabila aku dalam rindu dan sepi
Itulah berarti,
Aku tungku tanpa api
~~Kangen
WS Rendra

Kita —Aku, Kamu, dan Dia —pernah berjalan di garis yang sama. Aku sebagai imam, kamu dan dia  sebagai makmum. Tenanglah. Tak perlu risau. Bertiga, bersama dalam satu atap akan tetap bernamakan 1 cinta. Aku sedang tidak bergurau saat membuka suara dan menyatakan bahwa Kita akan menjadi 1 cinta. —itulah obrolan pagi antara aku; istri pertamaku, Sunarti; dan istri keduaku, Jeng Sito setelah membaca surat kabar dengan aku sebagai topik utamanya. Peristiwa yang diberitakan tidaklah membuat aku dan kedua istriku geger. Pun aku ditulis mereka bagai si jantan jalang dengan julukan “haus publisitas dan gemar popularitas”. Setelah cukup bagiku menerangkan dan menenangkan kedua istriku, walaupun kenyataanya mereka tak membuka suara. Hingga ku buka suara yang membuat keduanya pun mengeluarkan sebait kata.

“Aku pernah berkata bahwa memiliki kalian aku harus membayarnya dengan mahal, bukan? Aku tidak bermaksud menyinggung kemurkaan ayahmu waktu aku hendak melamarmu. Lagipula aku pernah mangatakan bahwa mengorbankan hal apapun untukmu sangatlah mudah bagiku. Sekali lagi kucoba tegaskan. Tak usah kalian gubris kata-kata mereka.” —kataku meyakinkan keduanya untuk kesekian kalinya.
“Sudah ku katakan, bukan hanya kangmas yang memilih aku ‘tuk jadi salah seorang permaisurimu. Karena aku pun memilihmu yang berperan sebagai sosok lelaki dinamis, aktif, dan memiliki kesehatan yang terjaga serta beribu aksara yang penuh makna, dimataku. Bukan hanya sekedar itu, aku pun merasa bahagia bisa berdamai dengan Jeng Narti semenjak aku masih menjadi muridmu di bengkel teater, kangmas.” —tutur istri keduaku dengan lembut, bawaan darah biru Keraton Yogyakarta yang ditakdirkan mengalir dalam dirinya.
“Iya, mas. Bukankah aku sangat anti menggunakan kata-kataku hanya untuk berkeluh kesah yang tak ada ujungnya? Sejak dulu aku sudah merasa nyaman hidup berdampingan dengan Jeng Sito. Tak ada alasan lain, selain karena rasa nyamanku dengan Jeng Sito. Terlebih Jeng Sito sangat menyayangi anak-anak kita. Yang aku katakan tidak salah kan, Jeng Sito?” —kali ini tutur istri pertamaku yang sabar dan selalu menerima aku ala kadarnya.
“Iya jelas seratus persen benar toh Jeng.” —timpal istri keduaku kepada istri pertamaku.
“Sebelum aku mencoba berusaha meyakinkan, memberi pengertian dan penjelasan kepada kalian, aku telah memprediksi bahwa tidak akan ada kekhawatiran yang menghampiriku. Tentunya keteguhan itu berlandaskan begitu ahlinya kalian bersabar terhadapku. Namun apalah artinya cinta jika tak bisa menemani dikala luka dan duka melanda. Jadikan kata-kata mereka sebagai perhiasan pion rumah tangga kita yang belum pernah dimiliki rumah tangga lainnya.” —kataku kepada keduanya yang hanya berbalaskan senyum tipis tapi sungguh, sungguh manis.

Perkara kecil, bukan, bukanlah sebuah perkara, melainkan sebuah perhiasan langka yang mahal harganya. Tentu saja karena si pelaku peristiwa poligami yang sederhana namun cukup membahana. Haha.. itu hanya lelucon belaka sekedar memberi warna agar tak terlalu terkesan mellow. Tapi yang benar saja. Mereka para pemberi komentar sinis yang membuatku terlihat dramatis mempercayai leluconku tadi. Lagi-lagi reaksiku yang ringan membuatku menjalani hidup dengan lebih sedikit hambatan daripada harus berpusing-pusing ria memikirkan tutur mereka yang nanti pasti akan luntur, suatu waktu nanti.

Terlebih aku memiliki kemampuan khusus dalam mengusir kepenatanku akan semua desas-desus tentangku yang semakin bertambahnya hari, semakin berkobar pula desas-desus itu. Tepat saat tamu asingku asal Australia mendarat di Indonesia, aku mengajaknya ke kebun binatang Gembira Loka sekedar tuk merefreshing otak sejenak. Disana kami berjalan-jalan santai sambil berbalas kata ringan dan dilengkapi makan ringan yang ada dimasing-masing genggaman.

Jalan-jalan santai kami di kebun binatang Gembira Loka berakhir di bangku tepat diseberang kandang burung merak yang di dalamnya berisikan seekor burung merak jantan yang sedang berjalan dengan dua betinanya. Melihatnya membuatku tertawa terbahak-bahak sembari berseru, Itu Rendra!! Itu Rendra!! Semenjak waktu itu julukan si Burung Merak melekat padaku.

Sungguh julukan itu sangat melekat hangat padaku. Sekali lagi kukembangkan sayap indahku. Terbukti, 1 betina terpesona akan keindahanku. Aku ingin mempersunting dia yang tak kalah mempesona, Ken Zuraida namanya. Ya. Kali ini yang ketiga kalinya. Berbeda dengan dua pernikahanku sebelumnya, aku telah dikaruniai 9 anak, 5 anak dari istri pertama dan 4 anak dari istri kedua, sedang pada pernikahan ketigaku, aku hanya dikaruniai 2 anak.
Lagi, lagi dan lagi.
Pernikahanku kali ini sungguh harus dibayar mahal. Kali ini bukan lagi keyakinan yang harus kupertaruhkan, melainkan kedua istriku yang lainnya. Saat usia pernikahanku dengan Jeng Sito menginjak tahun kesembilan, kami resmi bercerai. Dan tak lama kemudian, aku bercerai dengan cinta pertama sekaligus istri pertamaku, Sunarti.

Tiga..
Dua..
Satu..



Itu caraku mengenangnya. Kita, —aku, kamu, dan dia. Kita —berawal dari tiga hati, dua dunia dan melebur menjadi satu cinta. Kita —yang tak akan terlupakan, akan ku kenang dengan sebaik-baik ingatan dan berdamai dengan rasa penasaran yang telah berwujud pertanyaan: “Bukankah ini cinta? Jika iya, tidak tidak, ini memang sebenar-benarnya  cinta. Lalu mengapa kau melakukan itu? —melepasku.”

No comments:

Post a Comment