The only one short story that I made from romance stories of famous poet named WS Rendra. I hope after reading this post readers will not experience strange symptoms as experienced by the author shortly after writing this post. :D
Happy reading~
Happy reading~
Kisah 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta
Kau takkan mengerti bagaimana
kesepianku
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau takkan mengerti segala lukaku
Karena cinta telah sembunyikan pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dan
kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun dalam
darahku
Apabila aku dalam rindu dan sepi
Itulah berarti,
Aku tungku tanpa api
~~Kangen —WS Rendra
~~Kangen —WS Rendra
Kita —Aku, Kamu, dan Dia —pernah berjalan di garis yang sama.
Aku sebagai imam, kamu dan dia sebagai
makmum. Tenanglah. Tak perlu risau. Bertiga, bersama dalam satu atap akan tetap
bernamakan 1 cinta. Aku sedang tidak bergurau saat membuka suara dan menyatakan
bahwa Kita akan menjadi 1 cinta. —itulah obrolan pagi
antara aku; istri pertamaku, Sunarti; dan istri keduaku, Jeng Sito setelah
membaca surat kabar dengan aku sebagai topik utamanya. Peristiwa yang
diberitakan tidaklah membuat aku dan kedua istriku geger. Pun aku
ditulis mereka bagai si jantan jalang dengan julukan “haus publisitas dan gemar
popularitas”. Setelah cukup bagiku menerangkan dan menenangkan kedua istriku, walaupun
kenyataanya mereka tak membuka suara. Hingga ku buka suara yang membuat
keduanya pun mengeluarkan sebait kata.
“Aku pernah berkata bahwa memiliki kalian aku harus
membayarnya dengan mahal, bukan? Aku tidak bermaksud menyinggung kemurkaan
ayahmu waktu aku hendak melamarmu. Lagipula aku pernah mangatakan bahwa
mengorbankan hal apapun untukmu sangatlah mudah bagiku. Sekali lagi kucoba
tegaskan. Tak usah kalian gubris kata-kata mereka.” —kataku meyakinkan
keduanya untuk kesekian kalinya.
“Sudah
ku katakan, bukan hanya kangmas yang memilih aku ‘tuk jadi salah seorang
permaisurimu. Karena aku pun memilihmu yang berperan sebagai sosok lelaki
dinamis, aktif, dan memiliki kesehatan yang terjaga serta beribu aksara yang
penuh makna, dimataku. Bukan hanya sekedar itu, aku pun merasa bahagia bisa
berdamai dengan Jeng Narti semenjak aku masih menjadi muridmu di bengkel teater,
kangmas.” —tutur istri keduaku dengan lembut, bawaan darah biru Keraton
Yogyakarta yang ditakdirkan mengalir dalam dirinya.
“Iya,
mas. Bukankah aku sangat anti menggunakan kata-kataku hanya untuk
berkeluh kesah yang tak ada ujungnya? Sejak dulu aku sudah merasa nyaman hidup
berdampingan dengan Jeng Sito. Tak ada alasan lain, selain karena rasa nyamanku
dengan Jeng Sito. Terlebih Jeng Sito sangat menyayangi anak-anak kita. Yang aku
katakan tidak salah kan, Jeng Sito?” —kali ini tutur istri pertamaku yang sabar
dan selalu menerima aku ala kadarnya.
“Iya
jelas seratus persen benar toh Jeng.” —timpal istri keduaku kepada istri
pertamaku.
“Sebelum
aku mencoba berusaha meyakinkan, memberi pengertian dan penjelasan kepada
kalian, aku telah memprediksi bahwa tidak akan ada kekhawatiran yang
menghampiriku. Tentunya keteguhan itu berlandaskan begitu ahlinya kalian
bersabar terhadapku. Namun apalah artinya cinta jika tak bisa menemani dikala
luka dan duka melanda. Jadikan kata-kata mereka sebagai perhiasan pion rumah
tangga kita yang belum pernah dimiliki rumah tangga lainnya.” —kataku kepada
keduanya yang hanya berbalaskan senyum tipis tapi sungguh, sungguh manis.
Perkara
kecil, bukan, bukanlah sebuah perkara, melainkan sebuah perhiasan langka yang
mahal harganya. Tentu saja karena si pelaku peristiwa poligami yang sederhana
namun cukup membahana. Haha.. itu hanya lelucon belaka sekedar memberi warna agar
tak terlalu terkesan mellow. Tapi yang benar saja. Mereka para pemberi komentar
sinis yang membuatku terlihat dramatis mempercayai leluconku tadi. Lagi-lagi
reaksiku yang ringan membuatku menjalani hidup dengan lebih sedikit hambatan
daripada harus berpusing-pusing ria memikirkan tutur mereka yang nanti pasti
akan luntur, suatu waktu nanti.
Terlebih
aku memiliki kemampuan khusus dalam mengusir kepenatanku akan semua desas-desus
tentangku yang semakin bertambahnya hari, semakin berkobar pula desas-desus
itu. Tepat saat tamu asingku asal Australia mendarat di Indonesia, aku
mengajaknya ke kebun binatang Gembira Loka sekedar tuk merefreshing otak
sejenak. Disana kami berjalan-jalan santai sambil berbalas kata ringan dan
dilengkapi makan ringan yang ada dimasing-masing genggaman.
Jalan-jalan
santai kami di kebun binatang Gembira Loka berakhir di bangku tepat diseberang
kandang burung merak yang di dalamnya berisikan seekor burung merak jantan yang
sedang berjalan dengan dua betinanya. Melihatnya membuatku tertawa
terbahak-bahak sembari berseru, Itu Rendra!! Itu Rendra!! Semenjak waktu itu
julukan si Burung Merak melekat padaku.
Sungguh
julukan itu sangat melekat hangat padaku. Sekali lagi kukembangkan sayap
indahku. Terbukti, 1 betina terpesona akan keindahanku. Aku ingin mempersunting
dia yang tak kalah mempesona, Ken Zuraida namanya. Ya. Kali ini yang ketiga
kalinya. Berbeda dengan dua pernikahanku sebelumnya, aku telah dikaruniai 9
anak, 5 anak dari istri pertama dan 4 anak dari istri kedua, sedang pada
pernikahan ketigaku, aku hanya dikaruniai 2 anak.
Lagi,
lagi dan lagi.
Pernikahanku
kali ini sungguh harus dibayar mahal. Kali ini bukan lagi keyakinan yang harus
kupertaruhkan, melainkan kedua istriku yang lainnya. Saat usia pernikahanku
dengan Jeng Sito menginjak tahun kesembilan, kami resmi bercerai. Dan tak lama
kemudian, aku bercerai dengan cinta pertama sekaligus istri pertamaku, Sunarti.
Tiga..
Dua..
Satu..
Itu
caraku mengenangnya. Kita, —aku, kamu, dan dia. Kita —berawal dari tiga hati,
dua dunia dan melebur menjadi satu cinta. Kita —yang tak akan terlupakan, akan
ku kenang dengan sebaik-baik ingatan dan berdamai dengan rasa penasaran yang
telah berwujud pertanyaan: “Bukankah ini cinta? Jika iya, tidak tidak, ini memang
sebenar-benarnya cinta. Lalu mengapa kau
melakukan itu? —melepasku.”
No comments:
Post a Comment